Usaha Penyelamatan Ibule Hamil

“Kampung Melayu!! Kampung Melayu!!” teriak kenek metro mini yang bergelayutan di pintu metro sambil mengetuk-ngetukkan koin 500 rupiah-an ke tiang di sampingnya.

“Cik, dah nyampe tuh, ayo bangun..” ujar Tania sambil membangunkan Cika, temen se-profesinya yang duduk di sebelahnya. Cika terbangun dari tidurnya.

“Ya ampun pada tidur semua?!” seru Tania ketika menengok ke belakangnya. Fara, Jasmin, Naya dan Rasti yang duduk di belakang Tania dan Cika. Mereka ternyata sedang terlelap tidur. Bisa-bisanya mereka ketiduran di metro mini.

“Woi..Woi..Woi.. Bangun, cepetan dah nyampe,” ujar Tania membangunkan teman-temannya itu. Mereka terbangun, lalu segera turun dari metro mini.

“Gila lu pada, bisa-bisanya tidur di metro.” Ujar Tania sambil berjalan beriringan menuju kos-kosan yang jaraknya kurang lebih 50 meter dari halte bis. Sebenarnya bisa naik ojek, tapi karena mereka sedang melakukan pengiritan lantaran harga cabe naik, jadinya jalan santai. Lagian juga sudah malam. Ojek-ojek di sini banyak yang udah minggat. Udah sepi banget.

Tania, Fara, Rasti, Cika dan Jasmin adalah sekelompok sahabat yang solid. Mereka berteman dari kuliah. Sampai sekarang. Kemudian mereka kerja di kantor yang sama. Kantor majalah remaja bagian produksi.

“Capek Tan, ngantuk..” ujar Rasti. Kemudian menguap. Lebar sekali. Melebihi kuda nil.


“Itu ibu-ibu lagi ngapain ya.. Celingak-celingukan kayak maling ayam..” ucap Cika spontan ketika melihat ibu-ibu yang ada di ujung gang.

“Perutnya buncit, hehe..” kata Naya cengengesan.

“Itu hamil..” ujar Fara, Rasti, Tania, Jasmin dan Cika serempak. Dengan rasa solidaritas antar sesama, mereka lalu menghampiri ibu-ibu hamil itu. Semakin lama di dekati, semakin kelihatan mukanya.

Bule!

Ibu-ibu hamil itu bule. Hidungnya mancung, matanya ijo, sepertinya mata duitan. Jasmin yang paling takut sama setan langsung menatap ibu-ibu itu lekat- lekat. Dari ujung kaki sampai ujung kepala. Kakinya di lihat lagi. Melayang ato nggak. Kalo kakainya melayang, dia harus siap-siap untuk kabur.

“Eh, kakinya nggak melayang kan..” ujar Jasmin.

“Lu kata kuntilanak..” ucap Rasti.

Akhirnya, mereka sampai juga di Bogor. Nah, kagak nyambung kan?

“Excuse me madam, can I help you?” Tanya Rasti sok Inggris.

“Saya bisa ngomong bahasa Indonesia kok,” kata Ibule itu. Ibule, kagak tau namanya jadi manggil ibule aja ya, artinya Ibu Bule. Ternyata dia bisa ngomong bahasa Indonesia juga. Walaupun masih belepotan. Haha, kena deh si Ratih yang udah sok Inggris.

“Lagi ngapain Bu? Malem-malem di sini sendirian. Hati-hati loh bu, nanti ada bencongnya. Biasanya suka mangkal di sini.” Ujar Tania mengingatkan.

“Apa hubungannya sama bencong nyong?” Tanya Jasmin.

“Enggak, saya lagi nunggu adik saya. Katanya saya di suruh nunggu disini. Tapi dari sejam yang lalu belum datang juga.” Kata Ibu itu.

“Kita temenin ya bu?” tawar Fara. Tawaran Fara bikin temen-temennya kaget. Gila, badan udah remuk gara-gara di kantor, masih aja di suruh nemenin ibu-ibu hamil bule yang nggak jelas asal-usulnya.

“Fara, gue capek tau,!” protes Naya.

“Kalo lu capek, pulang aja sono!” protes Fara lagi.

“Nggak usah kok, paling sebentar lagi adik saya juga dateng.” Ujar ibule itu.

“Bener bu?” Tanya Fara.

“Iya, gapapa kok..”

“Ya sudah kita duluan ya bu..” ujar Fara sopan kemudian meninggalkan ibule itu. Belom ada 10 meter mereka berjalan, tiba-tiba terdengar suara rintihan anak tiri. Eh salah, rintihan kesakitan perempuan.

“Ih, apaan tuh Tan, kuntilanak ya..” ucap Jasmin ketakuatan sambil memegang tangan Tania erat-erat.

“Auk, iya kali.” Ujar Tania santai. Membuat Jasmin semakin ketakutan. Rasti mencoba mencari asal suara itu. Kemudian dia menengok ke belakang. Di lihatnya ibule itu terjatuh sambil memegangi perutnya yang membulat.

“Eh..Eh, ntu ibu-ibu kenapa?” Tanya Rasti sambil menunjuk ibu-ibu bule yang tadi di hampirinya. Semuanya menoleh.

“Eh..eh, bantuin! Bantuin!” seru Cika. Kemudian mereka berlari menhampiri ibule itu.

“Kenapa bu?” Tanya Fara sambil mencoba membantu ibu itu berdiri. Ibu-ibu itu hanya diam.

“Oh my God! Ibunya pipis!!” seru Naya yang melihat rok ibu itu basah.

“Bego! Itu air ketubannya pecah!” ujar Rasti.

“Cepet..cepet, panggil ambulans!” seru Fara.

“Ambulans!!! Ambulans!!! Yuhuuu..!!! ada yang mau beranak nih!!!” teriak Naya sekenanye.

“Goblok!! Di telepon!!” seru Cika.

“Oh, iya-iya,” kata Naya yang super oon itu lalu mengeluarkan handphonenya. “Nomor teleponnya berapa?” Tanya Naya.

“Arrgghhh!! Sini deh!” ujar Tania merebut handphonenya Naya. Kemudian mencoba menghubungi nomor telepon rumah sakit terdekat.

“Sialan!! Pulsanya abis!! Seraya melempar handphone Naya. Tetapi buru-buru di rebut sama Naya.

“Ya udah, kita bawa aja ke rumah sakit!” seru Rasti.

“Gimana caranya?!” Tanya Tania.

Rasti mulai sibuk berpikir. Sementara ibule itu makin meringis kesakitan. Rasti kemudian melihat mobil bak terbuka teronggok beberapa meter dari tempat mereka. Rasti berlari kearah mobil tersebut. Kemudian dengan entengnya dia mengambil kunci mobil bak itu yang ada di samping kopi di warung makan depan mobil bak itu barada. Bapak-bapak yang punya sedang terlelap tidur disampingnya. Sehingga Rasti dengan gampangnya mengambil kunci tersebut. Kemudian dengan santainya dia membawa mobil itu untuk di tumpangi ibule itu kemudian membawanya ke rumah sakit terdekat.

“Eh sarap! Mobil siapa ini?!” Tanya Cika kaget ketika Rasti datang membawa mobil bak.

“Pinjem bentar, udah cepetan lu angkut ntu ibu-ibu!!”

Cika menurut. Kemudian dengan di Bantu Tania, Jasmin, Fara, mereka mengangkat ibule itu ke bak mobil tersebut. Naya hanya berusaha mengomandoin. Kemudian mereka segera melesat pergi ke rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, Naya langsung mengambil kursi roda yang baru saja di turunin dari mobil seseorang pasien yang hendak turun dari mobil. Pasien tersebut ngamuk-ngamuk. Begitu pula laki-laki yang mendampingi pasien itu. Tapi Naya tetap saja melenggang dengan santai.

Ibule itu lalu langsung naik di kursi roda. Dengan sigap, Tania langsung membawa ibule itu masuk ke rumah sakit. Mereka kemudian langsung meminta resepsionis untuk segera melayani ibule itu. Tetapi resepsionis yang mukanya menor itu menolak dengan alasan mereka harus membayar administrasi terlebih dahulu.

Tania kemudian menyerahkan semua uang yang dia punya tetapi tetap saja tidak cukup. Kemudian dia memaksa teman-temannya untuk mengeluarkan semua uang yang tersisa di dompet mereka. Tetapi tetap saja tidak cukup.

“Arrgghhh… emangnya berapa sih mbak?” Tanya Fara yang kesal karena uang yang mereka kumpulkan tidak cukup untuk membayar uang administrasi.

“3 Juta,” jawab mbak resepsionis itu.

“Gila!! Rumah sakit apaan ini!! Bayar administrasi aja ampe 3 juta!! Mentingin duit banget sih dari pada nyawa orang!!” omel Cika berapi-api. Sementara ibu itu masih memegangi perutnya yang kian perih.

“Itu sudah aturan dari sananya mbak,” ujar mbak resepsionis itu santai menghadapi para cewek-cewek gila yang makin kesal.

“Ya udah sih mbak, segini aja dulu, nanti kita bayar deh, takut amat sih,” ujar Tania.

“Nggak bisa mbak, uang mbak hanya 60.000, belum cukup,” ujar mbak resepsionis itu yang sepertinya semakin kesal.

“Ya udah, kita cari rumah sakit yang lain aja Tan,” kata Jasmin.

Akhirnya mereka meninggalkan rumah sakit yang nggak ketulungan mahalnya. Sebelum mereka benar-benar meninggalkan rumah sakit, Tania sempat memaki-maki di depan rumah sakit itu.

“Dasar rumah sakit sialan!! Lebih mentingin duit dari pada nyawa pasien!! Rumah sakit apaan nih, bilangnya aja melayani pasien tapi apa!! nyatanya hanya orang kecil yang di telantarin!! Awas aja lu, kalo babeh gue udah kaya, gue beli nih rumah sakit ampe satpam-satpamnya!! Omel Tania sambil menunjuk-nunjuk rumah sakit itu. Untung para sahabatnya segera menengangkan dia. Sehingga tidak ada masa yang ikut-ikutan mnghakimi rumah sakit tersebut.

“Terus gimana nih?” Tanya Rasti yang nafasnya sudah tersengal-sengal karena kecapekan menuntun ibule itu. Ibule itu udah nggak pake kursi roda, karena kursi rodanya udah di rebut sama pemilik yang sebenarnya.

“Itu!!” seru Naya sambil menunjuk sebuah rumah reot yang di depannya bertuliskan,

DUKUN BERANAK
MAK REPOT

“Gila lu, masa dukun beranak sih?” protes Fara nggak yakin.

“Dari pada nih ibule brojol di sini! Mending kita bawa ke dukun beranak!” ujar Naya.

“Ya udah ayo..” ujar Cika sembari berlari menuntun ibule itu menuju ke rumah dukun beranak. Kemudian Fara yang nggak yakin sama dukun beranak bakal sukses ngebantu ni ibule melahirkan dengan pasrah ikut sambil membantu Cika dan Rasti menuntun ibule.

“Mak Repot nya mau istirahat, neng,” kata mbok-mbok yang keluar ketika Naya dan teman-temannya sampai di rumah dukun beranak itu.

“Yah mbok, tapi ini gawat banget, nih bule, eh maksud saya ibu-ibu ini udah mau melahirkan, kita nggak tau lagi harus bawa ke mana karena semua rumah sakit nolak buat ngebantu ibu ini melahirkan..” ujar Naya memelas.

“Tapi ini kan udah jam 11 malem neng, udah waktunya istirahat, si mbah nya juga udah tidur dari tadi..” kata mbok itu menolak permintaan Naya.

“Saya belum tidur kok..” kemudian suara seseorang muncul dari balik badan mbok-mbok itu. Dan ternyata itu adalah Mak Repot. Bujubuneng, tuir amat, sekitar 80-90-an, Fara semakin nggak yakin dengan dukun ini.

“Silahkan masuk neng,” ujar Mak Repot lagi. Jalannya agak sempoyongan. Tapi badannya gemuk. Mbok-mbok yang menolak kehadiran Naya dan kawan-kawan langsung diam kemudian masuk ke dalam rumah.

Ibule itu lalu di baringkan di dipan kayu yang hanya di lapisi kain yang berada di ruang tamu yang di sulap jadi tempat keluarnya bayi-bayi. Di samping tempat tidur itu terdapat meja kecil yang di atasnya terdapat baskom berisi air. Naya dan kawan-kawan lalu duduk di kursi rotan yang ada di depan rumah.

Mbok-mbok yang sempat menjengkelkan hati ke enam cewek itu terlihat repot mondar-mandir keluar masuk kamar sambil membawa beberapa barang. Pantes aja namaya MAK REPOT.

“Tarik nafass….. Buang lewat mulut perlahan-lahan…” kata Mak Repot mengomandoin ibule itu. Ibule itu yang sudah berkeringat hanya mematuhi perintahnya Mak Repot. Sesekali meringis kesakitan.

Perintah Mak Repot terus di ucap berulang-ulang. Sesekali mengatakan, “Dorong perlahan-lahan bu..”. ibule itu sempat berteriak, air matanya kemudian jatuh membasahi pipinya. Tangannya memegangi besi tempat tidur dengan erat. Cika yang dari tadi terlihat sangat gelisah itu penasaran sekali dengan keadaan di dalam. Dia kemudian masuk ke dalam rumah.

“Terus bu.. Bagus… Alhamdullillah…” ujar Mak Repot seraya menggendong bayi mungil yang masih berlumuran darah.

BRUUUKKK!!!

Cika yang melihat proses pengeluaran bayi tadi langsung pingsan tak sadarkan diri. Tania, Rasti, Fara langsung menggotongnya ke luar rumah. Kemudian membaringkannya di kursi rotan. Kepalanya di atas pangkuan Naya. Mereka mencoba membangunkan Cika.

“Bloon dasar.. “ gumam Rasti sambil membalurkan minyak kayu putih di leher dan kepala Cika.

“Alhamdulillah bu, bayinya perempuan..” kata si mbok ketika bayi itu sudah di mandikan. Ibule itu kemudian mengambil bayinya dengan senyuman yang mengembang di bibirnya. Rasa puas tersirna di wajahnya.

“Iiihh… Unyu banget..” kata Naya gemas sambil memegangi tangan mungil bayi itu. Cika yang sudah sadar dari pingsannya berkata,

“Nggak pernah mau lagi gue ngeliat orang melahirkan, serem boo..”

“Terima kasih ya de, kalian udah mau repot ngebantuin istri saya melahirkan..” kata sang suami ibule itu yang datang setelah di telepon. Sama-sama bule!

“Iya, gapapa kok, sering-sering juga gapapa..” ujar Rasti genit lantaran suami ibule itu kasepnya setengah idup. Hahaha… Akhirnya selesai juga ni cerita!!

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kancut Keblenger Nobar Indonesia Lawak Klub

Tentang Renjana

Napak Tilas Reformasi - Memperingati Tragedi Mei '98